Chasing Koyo Part II

Kinkaku-ji -the Golden Temple


Day 4 : Kyoto Full Day


Sebelum pusat pemerintahan dipindahkan ke Edo (atau sekarang lebih dikenal Tokyo), Kyoto pernah menjadi ibukota Jepang selama seribu tahun. Mungkin dikarenakan alasan itu, Kyoto memiliki begitu banyak bangunan bersejarah dan mayoritas penduduknya hingga saat ini masih mempertahankan Kyoto sebagai kota tradisional Jepang dimana sejarah terlahir dan asal usul negeri berada.

Selain itu, Kyoto juga terkenal karena Ryokan-experience, dimana pengunjung dapat merasakan tinggal sejenak di rumah tradisional Jepang yang dilengkapi dengan onsen (fasilitas mandi air panas yang biasanya tersedia di hot springs).

Karena itu, jauh hari sebelum saya merencanakan perjalanan, saya memutuskan untuk mencoba setidaknya 1 hari menginap di Ryokan. Namun karena minggu kedua bulan November, Kyoto sedang peak, hampir seluruh ryokan di kota ini dipenuhi oleh pengunjung lokal maupun mancanegara. Akhirnya, saya harus mencari ryokan yang sesuai dengan budget (karena peak-harganya naik gila-gilaan).

Kebetulan, hari kedua saya berada di Kyoto, hujan turun dari pagi hingga malam hari. Karena ini adalah hari terakhir saya di Kyoto, maka mau tidak mau saya harus pergi ke tiap lokasi wisata dalam kondisi hujan-hujanan.

Belajar dari kesalahan kemarin, saya membeli one-day-pass untuk keliling kota Kyoto menggunakan bus lokal. Berbeda dengan kota Tokyo dengan railway sebagai urat nadi utama, Kyoto lebih mengandalkan bus umum sebagai transportasi utama meskipun ada rel kereta dan subway. Saya membeli one-day-pass di tourist center stasiun Kyoto seharga 500 Yen.
Exhibition Hall Kyoto International Manga Museum
Tujuan pertama saya adalah pergi ke Kyoto International Manga Museum dengan menggunakan subway line dan turun di Karasumaoike Station. Berjalan sekitar 100 meter saya tiba di Museum sekitar jam 11 siang (kebiasaan: telat bangun).

Di lobby utama museum tersebut saya menemukan gift shop dan harus membayar sekitar 800 yen untuk masuk ke museum. Kemudian, langsung disambut dengan deretan koleksi komik dari seluruh dunia. Di sini kita bisa menemukan doraemon berbahasa indonesia.

Museum ini terdiri dari 3 lantai panjang dan menyimpan ratusan ribu koleksi komik-komik yang diproduksi di Jepang. Setiap judul di simpan dengan rapi dan diurutkan berdasarkan abjad. Museum ini terdiri dari lorong-lorong panjang yang senyap. Beberapa orang yang saya temui terlihat asyik membaca komik di tempat duduk yang disediakan. Mungkin bagi orang Jepang, museum slash perpustakaan ini adalah surga bagi orang yang menyukai komik. Segala macam komik, dari terbitan tahun awal komik muncul hingga terbaru, ada di sini.

Ketika berada di sana saya merasakan jantung saya berdebar-debar karena senang. Call me a geek, I am definitely found my paradise in there. Deretan buku sebanyak 3 lantai, lorong-lorong senyap dan betapa teraturnya koleksi itu dijaga, membuat jantung saya benar-benar ingin melompat. Selain itu, di beberapa dinding kita juga bisa menemukan goresan atau gambar dari beberapa komikus terkenal asli jepang. Dan juga, di dalam museum terdapat ruangan-ruangan yang (sepertinya) sering digunakan untuk pelatihan menggambar manga.


Di pusat museum, terdapat exhibition hall yang memamerkan karya-karya manga yang telah mendunia. Ada yang diurutkan berdasarkan tahun terbit maupun total penjualan, plus bagaimana efek manga telah mendunia hingga beberapa negara luar mengadopsi cerita bergambar tersebut dan membuat produk lokal seperti Panji Tengkorak di Indonesia (dan dipamerkan di sana).

Ok, saya sebenarnya bisa menceritakan 1 hari penuh selama berada di museum tersebut namun karena keterbatasan waktu saat itu dan saat ini, saya bergeser ke tempat lain yaitu keinginan suami untuk memakan ramen halal di Kyoto.

Dari museum, kami berjalan lagi ke stasiun menuju ke Kyoto stasiun. Dari sana kami berjalan sekitar 700 meter untuk menemukan restoran ramen halal Ayam-ya sekaligus berencana untuk nebeng sholat. Namun sialnya, setelah berjalan menembus hujan deras, kami menemukan restoran itu tutup khusus untuk hari itu.

Kesal dan lapar, kami berjalan menuju ke halte bus untuk mencari lokasi wisata terdekat. Setelah berjalan kembali ke arah yang sama dengan stasiun Kyoto, kami menaiki bus nomor 205 untuk menuju ke Kinkaku-ji, sebuah kuil warna emas yang merupakan salah satu icon kota Kyoto.

Sebelum menuju ke sana, kami berhenti sejenak di warung-warung depan kuil untuk mengisi perut yaitu udon yang lumayan recommended (saya lupa nama restorannya!).

Untuk memasuki Kinkaku-ji, kami harus membayar sekitar 400 yen per orang. Awalnya, saya disambut dengan deretan pepohonan yang mulai memerah dan menguning. Taman-taman yang luas dan berwarna-warni, hingga sampai sebuah kuil di tengah danau kecil menjulang dengan warna emasnya yang mencolok.

Kinkaku-ji awalnya adalah sebuah villa peristirahatan dan ditemukan di tahun 1300-an. Oleh karena itu, kuil ini memiliki bentuk yang agak berbeda dengan kuil-kuil budha lain yang ditemukan di Jepang.

Mengikuti arus manusia, saya terus berjalan sambil sesekali mengambil sudut untuk mengabadikan kecantikan bangunan bersejarah tersebut. Meskipun ramai pengunjung, bangunan tersebut terlihat tenang dan anggun dikelilingi oleh pepohonan cantik yang membuatnya layak menjadi background kartu pos dengan judul -the untold beauty- (maaf, saya random lagi).

Tidak berlama-lama di sana, saya mengejar tempat wisata berikutnya sebelum matahari mulai tenggelam. Karena waktu saya tidak banyak dan berada di sisi jauh-Kyoto, saya harus memilih antara Kiyomizu-dera atau Fushimi-Inari Taisha. Keduanya merupakan ikon kota Kyoto, dan berada di sisi berseberangan dari kota Kyoto. Karena saya mengendarai moda bus umum, saya membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk perjalanan satu arah ke sana.


Torii Gate di Fushimi Inari Taisha

Akhirnya, agar tidak terburu-buru, saya naik bus 205 untuk kembali ke Kyoto Stasiun dan menuju ke Fushimi-Inari Taisha dengan mengendari JR Line. Tujuan kami adalah Inari Stasiun yang berada berseberangan dengan Fushimi Inari Taisha.

Fushimi Inari Taisha merupakan kuil yang berada di kaki gunung Inari  yang terkenal karena jumlah Torii gate nya hingga ribuan. Torii gate tersebut merupakan hasil dari sumbangan pengusaha-pengusaha yang berada di daerah Inari.

Torii Gate merupakan simbol dari agama shinto yang merupakan pintu masuk menuju ke kuil yang membedakan antara dunia spiritual dan fisikal.

Terlepas dari itu semua, saya sangat tertarik dengan kuil ini karena kecantikan dan bentuknya yang- photography material. Banyak pengunjung yang datang meskipun hujan turun dengan deras dan temperatur udara mulai turun drastis.

Saya berjalan mengikuti trail torii gate hingga berada di kuil utama. Karena lelah dan menghemat waktu, saya tidak meneruskan sampai ke atas-yang konon katanya juga masih banyak kuilnya. Setelah puas mengambil foto, saya turun dan menemukan deretan kaki lima yang menjual banyak makanan dan souvenir.


Di dalam kamar Nakajimaya Ryokan
Lelah dan basah kuyup, saya memutuskan untuk mengambil bagasi di stasiun Kyoto untuk menuju ke Ryokan. Saya menginap di Nakajimaya Ryokan yang berada di pusat perbelanjaan kota Kyoto-Shijo.
Saat check-in, saya disanggup 2 wanita (setengah baya, dan tua) yang sangat ramah. Meskipun bahasa inggris mereka terbatas, namun mereka berusaha mengobrol.

Setelah diantarkan ke kamar, saya disuguhi hot ocha dan makanan ringan. Setelah membongkar koper,  saya dan suami duduk di depan meja rendah dan mencoba menikmati suasana di dalam kamar Ryokan. Namun karena saat itu hujan, dan hampir sebagian besar bangunan terbuat dari kayu, hidung saya mencium bau yang tidak nyaman dari dalam kamar.

Akhirnya, saya memutuskan keluar dari ryokan, dan berjalan-jalan (meskipun super lelah) untuk mencari makan malam. Karena pernah melihat di pinterest, Namco Wonder Tower adalah salah satu bangunan yang direkomendasikan di Kyoto, kami mencoba google map lokasi tersebut.

Naik bus dari halte di depan jalan, kami menuju ke Namco Wonder Tower dan berakhir pada sebuah mall di pinggiran kota. Bingung dan tidak punya tenaga lagi,kami masuk ke mall untuk mencari makan malam. Berputar-putar, kami akhirnya menemukan Marugame Udon di food court. Penasaran apakah akan berbeda dengan di Indonesia, kami memutuskan makan malam udon (lagi). Ternyata, dengan harga yang lebih murah sedikit, porsi lebih banyak, Marugame Udon di Jepang terasa lebih enak daripada di Indonesia.

Keluar dari food court, kami menemukan arcade facility bernama Namco. Pusat Arcade tersebut lebih besar dari timezone, dan terdiri dari berbagai macam arcade game milik perusahaan game terkenal Namco.

Berkeliling sejenak, kami memutuskan untuk kembali ke Ryokan dan mengakhiri malam itu.

nb: wajib mencoba waffle Heinneken di dalam stasiun Kyoto!

Day 5 : Miyajima-Hiroshima-Osaka
The most famous torii at Itsukushima Shrine located at Miyajima, near Hiroshima.

Perjalanan selanjutnya saya adalah menuju ke arah selatan ke kota Hiroshima, namun tujuan utama saya bukanlah Hiroshima, melainkan pulau cantik bernama Miyajima. Menaiki shinkansen selama 2 jam, saya tiba di stasiun Hiroshima dan segera mencari coin locker untuk menyimpan koper.

Setelah itu saya menaiki stasiun lokal untuk menuju ke stasiun Miyajimaguchi yang tersambung dengan pelabuhan Ferry menuju ke Miyajima. Beruntungnya, Ferry menuju ke Miyajima juga bisa menggunakan JR Pass. Perjalanan di atas Ferry ditempuh sekitar 10-15 menit.

Di sekelililing laut yang memisahkan kota Hiroshima dengan pulau Miyajima, terdapat pegunungan yang berderet indah. Dari kejauhan terlihat icon pulau Miyajima, yaitu Torii gate besar berwarna merah yang berdiri gagah di atas lautan.

Hingga tiba di pulau Miyajima, gerimis masih jatuh dan mendung menggelung tebal. Kabut mulai turun dan suhu udara menurun. Berjalan keluar pier, saya langsung disambut beberapa rusa yang berjalan secara bebas berdampingan dengan manusia.

Kaget dan senang, saya terus berjalan mengikuti arus manusia. Jalanan pertama yang saya temui adalah deretan restoran lokal yang menjajakan makanan asli Miyajima-yaitu oyster. Berbagai olahan oyster dijual baik dari snack hingga makanan berat. Karena saya bukan penggemar oyster, saya tidak mampir untuk mencoba.

Terus berjalan saya menemukan kuil yang menjulang tinggi diantara hutan di dalam pulau. Di sisi kanan saya, Torii gate di atas lautan masih terlihat menemani saya. Saya terus berjalan sampai menemukan halte bus yang akan mengangkut saya ke stasiun cable car menuju ke puncak gunung Misen. Bus tersebut beroperasi setiap setengah jam, free charge. Karena ingin menghemat tenaga, saya mengantri di halte meskipun memakan waktu.

Setelah bus tiba, saya diangkut menuju ke atas melalui jalanan sempit berliuk-liuk. Jalan tersebut hanya muat satu kendaraan dan di setiap tikungan saya menahan nafas melihat jurang curam yang meskipun sangat indah namun tampak berbahaya.
Pemandangan di dalam Cable Car
Perjalanan tersebut tidak lama, sampai akhirnya saya tiba di stasiun cable car. Saat turun, saya menahan nafas karena pepohonan mapple di sana sudah mengeluarkan warna merah menyala dan mulai gugur. Pemandangannya sangat indah dan saya berani bertaruh seandainya matahari sedang cerah, saya bisa mendapatkan foto postcard material di sini.

Untuk menaiki cable car, saya harus membayar 2000 Yen untuk pulang pergi. Kebetulan tidak ada antrian, dan saya bisa menaiki 1 cable car tanpa berbagi dengan orang lain (kecuali suami saya tentunya). Perjalanan di atas cable car berlangsung selama 20 menit dengan kondisi mendaki. Di bawah, saya bisa melihat pepohonan yang mulai berwarna-warni indah,bersisian dengan lautan dan pegunungan lain. Karena hujan, saya tidak bisa mengambil foto, jadi saya menikmati dengan mata saya.
The Fallen Leaves
 Selama perjalanan cable car terbagi menjadi 2, yaitu cable car kecil yang muar 4 orang, dan cable car 360 derajat yang muat sekitar 20 orang. Sesampai di puncak gunung misen, kami disuguhkan pemandangan 360 derajat dari kepulauan dan pegunungan di sekitar laut, sekaligus landscape kota Hiroshima. Saat itu, puncak gunung tidak terlalu ramai sehingga saya dan suami bisa menikmati pemandangan sepuasnya sambil mengambil foto.

Setelah puas berkeliling, tiba-tiba hujan deras turun dan kami harus berteduh di cafe yang ada di atas gunung. Pada saat itu saya baru teringat kalau belum makan siang. Saya memesan udon (lagi) dan menikmati pemandangan laut di balik kaca di dalam cafe.
Di Puncak Mount Misen
Sesudah itu, kami turun kembali menaiki cable car dan tiba di stasiun awal. Kali ini, saya memutuskan untuk berjalan kaki kembali ke pusat kota Miyajima. Dan ternyata, keputusan saya sangat tepat. Berjalan di tengah hutan Miyajima saya menemukan keindahan sejati musim autumn di Jepang. Pepohonan mulai memerah atau menguning, dan dedaunan jatuh di atas tanah. Beberapa pohon ginkgo telah rontok sepenuhnya dan meninggalkan warna kuning di atas tanah. Shutter kamera saya terus bergerak, hingga batere kamera mulai memerah. Jarak sekitar 7 km berjalan pun sama sekali tidak terasa karena keindahan hutan (baca : taman) tersebut.
Maple Tree di dalam hutan Miyajima
Saya terus berjalan sampai ke pier dan merasa berat di hati untuk meninggalkan pulau cantik itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, dan saya harus kembali ke Hiroshima sebelum malam menjemput senja.

Tujuan saya berikutnya adalah mengunjungi Atomic Bomb Dome di pusat kota Hiroshima. Meskipun Hiroshima tidak sebesar dan semodern kota Tokyo, namun Hiroshima merupakan kota terbesar di Hiroshima perfektur. Dengan mudahnya, kita bisa menemukan merk Louis Vitton ataupun Channel berada di ujung jalan. Pemukiman penduduk juga nampak sangat padat di perbukitan. Selain itu, Kota Hiroshima juga memiliki jaringan Street Car yaitu jaringan trem yang merupakan urat nadi transportasi kota.

Untuk menuju ke Atomic Bomb Dome, saya harus naik street car dan turun di stasiun Genbaku-Dome-Mae. Untuk membayar street car, saya menggunakan Suica yang juga sakti kekuatannya di Hiroshima.
The Atomic Bomb Dome


Atomic Bomb Dome merupakan monumen untuk mengenang peristiwa tragis pengeboman kota Hiroshima di masa PD II. Monumen tersebut berupa puing-puing bangunan sisa pengeboman yang masih berdiri tegak. Bangunan tersebut tidak terlihat creepy atau kusam seperti yang kubayangkan sebelumnya. Di sekeliling monumen dibangun taman, dan disediakan kursi taman di sepanjang sungai yang mengalir sejajar dengan monumen. Jembatan di seberang monumen juga terlihat indah dengan lampu-lampunya saat malam tiba. Saya tidak tahu apakah sasaran pengeboman saat itu adalah jembatan yang berada di depan mata saya atau jembatan besar di sisi lain kota.

Tidak berlama-lama karena kami harus mengejar kereta menuju ke Osaka, setelah menyempatkan dinner di KFC dekat Atomic Bomb, kami kembali ke stasiun Hiroshima, mengambil bagasi dan berangkat menuju ke Osaka mengendarai Shinkansen.

Well, catatan perjalanan saya akan berlanjut lagi ke part berikutnya untuk menelusuri kota Osaka dan tentu downtown kota Tokyo. Sebelum mengakhiri, kita lakukan bugdet check terlebih dahulu.


No Keterangan  Harga untuk dua orang  
Yen IDR
1 Entrance Fee Mange Museum                              1,600.00
2 Kinkaku-ji Entrance Fee                                  800.00
3 One Day Pass-Bus                              1,000.00
4 Udon di depan Kinkaku-ji                              1,500.00
5 Nakajimaya Ryokan    1,600,000.00
6 Marugame Udon                              1,200.00
7 Udon di Mount Misen                              1,200.00
8 Cable Car                              4,000.00
9 KFC                              1,500.00
total                            12,800.00    1,600,000.00

 nb: semua pengeluaran di atas di luar personal shopping, dan snack.


Sebelumnya:
Mengejar Musim Gugur di Jepang Part I
Chasing Autumn Part III 
Chasing Autumn Last Part   















Comments

Popular Posts